“Dia tinggi aku pendek, dia kaya aku miskin, dia cantik aku tidak menarik, dia punya keluarga terpandang aku punya keluarga yang terhina, pokoknya dia hampir sempurna, jauh kemana-mana dibanding aku. Dia sekali makan menghabiskan lembaran uang dengan pecahan tinggi, sementara aku makan sepiring saja, harus keluar banyak keringat. Apa semua itu belum menunjukan kalau Tuhan itu tidak adil?”(Icih Sukaesih, 22th)
Tuhan
mungkin tidak akan pernah terasa adil di mata kita jika kita berada dalam sudut
pandang yang tidak pada tempatnya. Apa maksudnya? Kita selalu mencari-cari
kekurangan diri sendiri dan mengorek-orek kelebihan orang lain mungkin pertanda
kita tidak bersyukur.
Kenapa
Tuhan menciptakan manusia tidak sama? Tentu saja agar manusia bisa saling
mengenal dan membuat peradaban. Kenapa Tuhan menciptakan Si Kaya dan Si Miskin?
Kenapa tidak semua saja diberi kekayaan yang sama? Kembali lagi, Tuhan
menciptakan perbedaan itu agar kita bisa saling mengenal. Kita tidak mungkin
memaksakan memakai baju ukuran mini untuk tubuh kita yang besar.
Kawan,
kaya dan miskin itu sama-sama cobaan, sama-sama titipan. Ada kalanya Tuhan
memberikan cobaan yang nikmat ada saatnya pula Tuhan memberikan cobaan yang
tidak nikmat. Ketika Tuhan memberikan Si Kaya rumah yang besar, kendaraan yang
banyak, emas yang berlimpah dan semua benda mewah Tuhan berikan kepadanya.
Tuhan memberikan kepada Si Kaya apa-apa yang tidak diterima Si Miskin. Tuhan
mungkin tampak tidak adil jika kita melihat dari sudut pandang kekayaan.
Barangkali kita tidak pernah melihat bahwa Si Kaya lebih sering menghabiskan
waktunya di rumah sakit, terbaring kuyu karena penyakitnya, mungkin kita juga
tidak tahu kalau Si Kaya habis cerai dengan pasangannya karena tidak kunjung
dikaruniai anak. Sementara Si Miskin diberikan anak-anak yang penurut, dan
kesemuanya sehat walafiat.
Kawan,
kita mungkin lupa bahwa kelak apa yang kita punya akan dipertanggungjawabkan. Jika
yang kita punya banyak, tentu saja pertanggungjawabannya pun banyak. Kita tidak
usah menuduh Tuhan tidak adil, dan larut dalam kesedihan dan keluh kesah yang
tiada hentinya. Kelak Si Miskin akan lebih unggul satu langkah dibandingkan Si
Kaya, karena jumlah pertanggungjawabannya sedikit. Kawan, sebaiknya kita tidak
usah pura-pura lupa bahwa harta itu bukan jaminan kebahagiaan. Karena saya
percaya, kebahagiaan itu hanya sebuah pilihan.
Mari
simak pengakuan tetangganya Icih Sukaesih.
“Dia mungkin iri
aku punya tubuh tinggi semampai, dia mungkin iri aku cantik, dia mungkin iri
aku punya harta yang berlimpah, dia mungkin iri keluargaku terhormat. Tapi dia
tidak pernah tahu keluargaku sebobrok apa, tidak pernah tahu hutang keluargaku justru lebih banyak daripada harta yang kami miliki, dia tidak pernah tahu aku kena
penyakit talasemia, dia tidak pernah tahu aku iri melihat orangtuanya yang
rukun, aku juga iri dia hidup tanpa beban cuci darah sepertiku. Dia tidak pernah tahu aku begitu iri padanya.”
(nama disamarkan, 21th)
16 Oktober 2014
Iqtaw