Tuesday, October 14, 2014

Kisahku Dan Hikayat Si Onar



 Oleh: Iqbal Tawakal
Malam mulai menapaki senja. Perasaanku dibaluti rasa gamang. Aku takut dengan keadaan genting seperti ini. Di ruang depan, Ayah duduk di sofa tua nan usang dengan dengusan napas yang berat. Tampak jelas dari raut wajahnya yang sangar tengah menahan gejolak amarah. Begitu pula dengan sikap Ibu yang sedari tadi mondar-mandir dengan memainkan jemarinya tak karuan.
Samar terdengar derap-derap langkah cepat dari luar rumah yang kian mendekat. Aku sangat yakin Onar yang datang. Ayah bergegas dari duduknya. Siap menumpahkan kecamuk yang telah lama menggumpal di benaknya. Ibu mengikuti langkah Ayah. Sedangkan aku, merasa resah, panik dan gelisah yang saling membaur. Ini bukan kali pertama kami mecegat kedatangan Onar.
Pintu rumah berderit lalu terkuak pelan. Onar muncul masih mengenakan seragam SMU dekilnya, dengan wajah penuh luka memar.
“Dasar anak tak tahu diuntung!” teriak Ayah menggelegar sembari mengacungkan telunjuknya ke arah Onar. Kontan membuatku terlonjak. Tapi justru Onar tampak biasa saja. Ia tertegun, membuang muka dari tatapan tajam Ayah.
“Jam segini baru pulang?! Ayah bingung, sebenarnya kamu itu maunya apa?” lanjut Ayah kian emosi. Ibu mengusap-usap pundak Ayah berusaha meredakan kemarahannya yang meledak-ledak.
“Ayah capek harus mendapat surat panggilan dari sekolah terus-menerus. Ayah kelewat malu dengan sikapmu yang semakin binal itu. Dan sekarang kamu masih saja dengan sikap jelekmu. Kamu pikir tawuran itu gunanya apa, heh?”
Memang hari ini, terjadi tawuran antar sekolah Onar dengan sebuah sekolah swasta. Aku tak mengerti sebab musababnya. Dan Onar adalah salah satu siswa yang terlibat dalam kasus tersebut.
Sudah menjadi keseharian Onar pulang telat dari sekolah. Bahkan pernah ia tak pulang berhari-hari. Wajar saja Ayah marah pada sikapnya yang terlampau brutal. Apalagi reputasi Ayah sebagai seorang guru di salah satu Sekolah Dasar, telah tercoreng-moreng karenanya.
Sudah tak terhitung jumlah surat panggilan dari sekolah atas kelakuan liar Onar. Entah perkara perkelahian, tawuran, atau hanya sekadar bermasalah dengan pengajar. Bahkan Ayah pun pernah mendapat surat panggilan dari Kepolisian atas kericuhan di lintas jalan raya oleh Onar dan sohib-sohibnya.
Tapi sungguh, aku miris jika harus mendengar makian Ayah setiap hari padanya.
“Kalau begini jadinya. Mending kamu nggak usah sekolah sekalian. Percuma, nggak ada hasilnya.” Wajah Ayah memerah padam.
Onar masih bergeming. Seakan-akan tak ada masalah apapun yang terjadi pada dirinya. Aku benar-benar bingung menafsirkan kerlingan matanya yang datar itu.
Ayah terlihat berjuang keras menahan tangannya yang seperti hendak menempeleng Onar.
“Kapan Ayah berhenti menghujatku? Aku bosan dengan semua ini,” lirih suara Onar dan mulai bersitatap dengan Ayah.
“Apa kamu bilang? Bosan? Ayah tidak akan pernah memakimu, kalau saja kamu tidak berkelakuan seperti ini,” ujar Ayah geram. Ibu tak berani berkutik, begitupun aku yang sedari tadi terpaku di tempat, gemetaran.
“Apa Ayah tak punya perasaan? Kapan Ayah menghargaiku?” Pekik Onar tak sopan.
Plakk!!
Kontan telapak tangan Ayah -tak dapat dicegah lagi- mendarat cepat di pipi Onar hingga ia sedikit terjengkang. Wajah Onar kini memerah. Pasti dirasakannya sakit tiada terkira. Aku rasa, itu adalah tamparan terdahsyat dari sekian sering tamparan Ayah pada Onar. Berbanding terbalik denganku yang sama sekali tak pernah ditampar Ayah.
“Berani-beraninya kamu bicara seperti itu pada Ayahmu sendiri.”
“Sudah Yah, cukup!” kataku akhirnya saat Ayah hendak menghujani Onar dengan tamparan lagi.
Onar memegangi pipinya yang lebam ditambah tamparan dari Ayah.
Ibu mengisyaratkan Onar supaya segera masuk kamar. Onar pun bergidik tanpa pamit. aku dan Ibu mengekori dari belakang.
Ayah kembali duduk di sofa, merenungi sesuatu. Disedotnya sigaret yang baru saja ia nyalakan, asap pun mengepul bersama amarahnya. Itu yang biasa beliau lakukan jika sedang naik darah.
Aku berdiri di ambang pintu kamar Onar. Kulihat Onar duduk diatas kasur lusuh sembari memijati keningnya dengan kelopak mata terkatup rapat.
“Kapan kamu bisa berubah Nar?” Tanya Ibu lantang seraya menghampiri Onar.
Aku sempat berharap hari ini Ibu akan berusaha menenangkan kemelut Onar dengan kelembutan kasih sayang. Tapi ternyata perlakuannya pada Onar masih tetap sama. Uring-uringan, yang menurutku hanya membuang-buang energi saja.
Onar tak menggubris. Mungkin karena pikirannya teramat kacau. Tapi entahlah realita sesungguhnya yang ada di benak Si 'Biang Onar' itu. Aku tak mengerti.
“Kapan kamu bisa seperti Riki?” Ibu menyebut nama Riki. Ya, dia adik kandung Onar, yaitu aku.
“Kamu lihat Riki! Dia baik, cerdas, bermoral, dan yang paling utama dia mampu membanggakan orang tua,” lanjut ibu.
Sungguhkan Aku membanggakan orang tua, Bu? Tanyaku di hati.
Tapi aku tak mau jika harus dibanding-bandingkan dengan Onar. Aku selalu merasa bersalah padanya. Aku tidak ingin terlalu dielu-elukan oleh Ibu maupun Ayah. Karena aku takut Onar membenciku.
“Kenapa kamu diam, heh?” teriak Ibu. “Apa kamu masih belum sadar atas kelakuan jelekmu itu? Coba kamu contoh sikap Riki!”
“Cukup Bu!” Pintaku sesopan mungkin, “Ibu tidak perlu mengulangi pertanyaan-pertanyaan yang sama padanya. Karena aku yakin Onar memiliki sifat sendiri. Dan karakter seseorang tidak bisa dipaksakan untuk berubah, Bu. Kecuali dia sendiri yang menghendaki.”
“Kalau saja bukan karena Riki melerai Ibu. Pasti Ibu sudah kelewat stres ngadepin kamu.”
Ibu memandangku sejenak lalu melengos ditelan pintu. Aku merasa tatapannya mulai meneduh. Maafkan Riki Bu! Bukan maksudku untuk menggurui Ibu. Tapi justru menurutku ini yang terbaik. Bukan Onar saja yang mungkin merasa jengkel, tapi aku juga.
Aku masih membeku di ambang pintu. Kupandang tampang muka Onar yang nyaris sembilan puluh persen persis dengan wajahku. Bagaimana tidak? Aku dan Onar adalah saudara kembar.
Kendati wajah kami bagai pinang dibelah dua. Tapi kepribadianku dengannya jauh berbeda. Aku yang pendiam, susah bergaul, namun memiliki otak yang dapat diandalkan untuk menggondol ranking pertama setiap tahunnya. Sedangkan Onar punya watak brutal, pemberani, tapi mempunyai otak yang dongkol.
Sesungguhnya nama asli Onar adalah Riko. Aku tak ingat pasti panggilan 'Onar' mulai familiar oleh semua orang yang mengenalnya termasuk Ibu dan Ayah. Seingatku, waktu kami masih SMP. Riko selalu membuat gempar. Baik di kelas, maupun seseantero sekolahan. Salah satu akibatnya, Onar tak lanjut kelas. Dia mesti mengulang satu tahun. Sehingga aku mulai berselisih angkatan dengannya.
Ia dikenal orang sebagai biang onar-lah, tukang kisruh-lah, trouble maker-lah, dan panggilan sejenis lainnya. Maka lambat laun nama 'Onar' mulai dipakai orang untuk memanggilnya.
Selayaknya saudara kembar. Sejak kecil aku dan Onar, adalah jiwa yang tak bisa dipisahkan. Kemanapun aku pergi, Onar pasti ada menemaniku, pun sebaliknya.
Perbedaan antara sikapku dan Onar memang sudah disadari oleh Ibu dan Ayah saat kami masuk SD. Tapi Ibu dan Ayah belum terlalu menggubrisnya.
“Kamu dan Riki anak kembar. Riki pintar, sedangkan kamu kok bodoh ya? Padahal Ibu dan Ayahmu seorang guru. Sebenarnya kamu keturunan siapa sih? Apa jangan-jangan waktu di dalam kandungan Ibumu, otakmu pindah ke kepala Riki? Haha,” kata seorang teman SD kami dulu pada Onar sambil cengengesan.
“Aku memang bodoh dalam pelajaran. Tapi aku tak akan mungkin kalah betarung fisik dengan Riki.” Timpal Onar dengan suara khas anak kecil saat itu sembari terkikik. Apa mungkin Onar tak merasa hatinya tergores? Entahlah.
Mungkin saat Onar mengalami masa pubertas. Aku rasa Onar mulai tersinggung dengan ejekan-ejekan orang. Sehingga sejak kelas dua SMP Onar menjadi orang yang gampang marah. Dia mulai menjauh dariku. Benar-benar aku kehilangan sosok Onar yang dulu. Dia mulai bergaul dengan gank berandalan di sekolah.
Hal ini tentu membuat Ibu dan Ayah jengkel.
Ayah bekerja menjadi guru dengan gaji yang pas-pasan. Dan Ibu seorang sarjana yang dituntut fokus pada satu pekerjaan, yaitu ibu rumah tangga.
Mereka menginginkan kami menjadi orang sukses. Karena hanya kami berdua generasi penerus mereka. Maka Aku selalu berusaha untuk menjadi yang mereka mau. Sementara Onar, ya itu tadi, ia tak henti-hentinya membuat masalah.
“Ngapain kamu masih disini?” Ujar Onar memecah lamunanku seketika.
Aku menghampirinya lalu duduk perlahan di sampingnya.
“Kamu yang sabar ya!” Aku bingung harus mengatakan apa padanya.
“Lu gak usah sok peduli gitu deh!” sergahnya seraya memfokuskan pandangan garangnya padaku. “Lu gak pernah ngerasain apa yang gue rasain.”
Kukernyitkan kening sambil menggeleng. “Nggak Nar! Aku tau perasaanmu sakit. Aku bisa rasain itu.”
“Lu jangan munafik deh. Kalau lu emang ngerasain apa yang gue rasain. Kenapa lu gak pernah kepikiran buat jadi brandalan kayak gue? Kenapa lu tetep aja keukeuh sama kepintaran yang lu punya itu? Biar semua orang gak bandingin gue ama elu lagi. Karena ini semua gara-gara lu gue jadi kayak gini.”
Ada sesuatu yang mendesir di sekujur tubuhku ketika Onar mengatakan serentetan kalimat itu.
Tapi apa katanya? Brandalan? Jadi, Onar ingin aku menjadi brandalan. Aha, mungkinkah ini jalan keluar yang baik untuk menyamaratakan kedudukan kami?
Tidak-tidak, aku tak mau. Apa aku yang polos ini dapat berubah menjadi 'biang onar' sepertinya? Itu tak mungkin.
Ataukah aku harus pura-pura bodoh? Oh tidak, itu sama saja mengecewakan Ayah dan Ibu.
Lantas, aku harus bagaimana?
Kurasa semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Termasuk kelebihan di diri Onar. Hanya mungkin belum ada yang menyadarinya. Sehingga orang selalu memandang Onar rendah.
“Lebih baik sekarang lu keluar dari kamar gue! Gue udah muak sama elu.”
Aku mematung tak mempedulikan usiran Onar padaku.
“Apa lu gak denger, heh? Cepet lu keluar dari kamar gue!” bentak Onar dengan mata membulat.
Aku tetap bersikukuh tak menuruti apa maunya, tanpa suara. Walau jantungku bedentuman kencang karena sebenarnya aku ngeri melihat sorot matanya yang merah.
Mungkin karena Onar jengah padaku. Ia pun beranjak pergi dari kamar tanpa banyak kongkalikong.
“Tunggu Nar! Kamu mau kemana?” Aku terperanjat lalu mengejarnya.
Ayah masih menekuri sigaretnya di ruang depan, beliau nampak lebih tenang. Ketika Onar berlari keluar rumah.
Aku melintas di hadapan Ayah. Tapi laju langkahku terhenti saat Ayah berujar padaku.
“Jangan ikuti dia. Biar saja dia jauh-jauh dari rumah ini. Kehadirannya disini hanya memberi pengaruh negatif padamu. Ayah juga sudah muak dengannya.”
“Ayah kok ngomongnya gitu?” kataku kemudian.
“Sudahlah, kamu jangan pedulikan dia. Ini sudah malam, apa kamu mau dianggap keluyuran sama Ayah. Apa kamu mau seperti dia?” tukas Ayah.
Sejenak aku terdiam. Tapi sejurus kemudian, aku melangkah menuju kamar Onar yang tak jauh dari tempat Ayah duduk.
Aku menatap kamar yang ironis itu. Semua benda berserakan tak tertata rapi.
Tiba-tiba saja mataku tertuju pada lemari kecil yang ada di samping tempat tidur.
Bukankah lemari itu selalu terkunci? Yang tak boleh kubuka.
Tapi sekarang Onar menggeletkannya di atas lemari mini dekat weker. Apa dia seteledor itu?
Entah kekuatan apa yang mampu menggiringku untuk membuka kotak privasi Onar. Dan setelah kubuka, aku mendapati setumpukan buku.
Aku tertarik pada buku mini yang berada di paling atas tumpukan.
Ragu-ragu kubuka buku berwarna hitam itu. Banyak bekas carikan kertas yang telah dirobek. Hingga yang tersisa hanya beberapa halaman saja. Buku itu berisikan catatan yang ditulis tangan oleh Onar.
Haa? Aku nyaris tak percaya Onar punya buku catatan.
***
“Aku bodoh, benar-benar bodoh. Kenapa aku tidak bisa seperti adik kembarku yang super pintar itu? Berkali-kali aku berusaha, tapi nihil. Tetap saja aku bodoh. Lihat akibatnya, semua orang mengejekku. Terutama Ayah dan Ibu. Sungguh aku merasa tak berguna.”
“Kupingku panas. Saat orang ke-1001 membandingkan aku dengan Riki. Riki pintar-lah, rajin-lah, anak baik-lah … bla-bla-bla, sedangkan aku? Arrgghhhh ….”
“Aku stres, sungguh aku stres. Aku bisa gila kalau Ayah terus memarahiku karena kebodohanku. Dan Ibu yang selalu memuji Riki.”
“Setiap aku terlelap. Mimpi itu selalu saja membayang. Ada sesosok makhluk yang mengamitku untuk melakukan kebusukan. Aku tak ingin, tapi serasa ada kekuatan yang membuatku selalu saja menurutinya. Itu semua diluar kendaliku.”
“Aku dipanggil dengan nama 'Onar'. Ketika lebih dari satu bulan aku bergabung dengan sekumpulan preman sekolah. Aku benci nama itu. Aku heran, kenapa semua keluargaku juga ikut-ikutan. Termasuk Riki, sodara kembarku.”
“Emosiku selalu saja tak terkontrol. Aku jadi orang jahat. Itu bukan mauku. Apalagi untuk menjauhi Riki. Dan setiap satu kesalahan kuperbuat, aku hanya bisa istighfar, memohon maaf pada Allah atas semua kesalahanku.”
“Aku tak pernah berhenti berdoa supaya semuanya lekas berakhir. Aku ingin sepintar Riki.
Walau kadang aku berpikir, kenapa Riki tak sebodoh aku? Kami kembar, tapi kenapa hanya aku saja yang mengalami kemarahan Ayah atas otakku yang tak normal ini?”
“Aku semakin liar. Ayah semakin garang. Aku tak tahan dengan tamparannya yang hampir keduapuluh kali. Itu membuatku serasa terinjak-injak.”
“Aku frustasi. Emosiku makin tak terkontrol. Ayah kian membenciku. Aku ingin sekali kabur dari rumah, tapi aku tak tega meninggalkan belahan jiwaku. Aku tau Riki akan mencemaskanku. Akupun harus siap-siap merindukannya. Aku sangat menyanginya.”
“Aku tak ingin menulis lagi. Pikiranku terasa buntu. Tanganku kelu. Kupikir aku akan gila sungguhan.”
***
Serasa ada yang memukul ulu hatiku, saat kututup buku catatan milik Onar.
Aku tercenung. Merasakan sesuatu yang tak dapat kuungkap dalam wacana.
Aku tak kuasa membendung air yang sedari tadi mengendap di pelupuk mata lebih lama lagi. Tetes-tetes pun perlahan membasahi wajahku.
Kenapa aku setega ini pada Onar? Apa aku terlalu egois membiarkan penderitaan Onar terus berlarut-larut hingga saat ini?
Betapa sombongnya aku menjadi orang yang berotak cemerlang. Dan selalu merasa bahagia jika mendapat pujian dari teman, guru, maupun Ayah serta Ibu. Padahal bahagiaku diatas penderitaan saudaraku sendiri.
Ya Tuhan maafkan aku!
***
Nyaris dua jam aku mematung di kamar Onar. Malam pun kian larut. Telah kulihat jam menunjukan angka sebelas.
Hanya Onar yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku teramat berdosa padanya.
Sesaat kemudian terdengar gedoran pintu depan dengan kencang.
Aku bergegas, mengintip dari jendela dengan tirai yang sedikit kusingkap. Aku melihat beberapa orang -yang seperti sekelompok regu ronda malam- berdiri di halaman rumah.
Mau apa orang-orang itu di tengah malam seperti ini? Apa rumahku kemalingan. Kalau iya, apa yang mau dicuri dalam rumah sederhana keluargaku ini?
Aku segera hengkang menuju ruang depan. Ayah dan Ibu sudah siaga disana.
“Ada apa ini?” Ayah angkat bicara pada seseorang yang baru saja masuk. Sebelum akhirnya pemuda itu duduk diatas sofa ringkih di ruang depan.
“Mmm … anu Pak … itu lho Pak!” pemuda itu tergeragap.
“Kamu jangan membuat kami penasaran. Ayo bilang! Ada apa ini sebenarnya?” sahut Ayah.
“Anak Bapak, Pak ….”
“Bikin ulah apa lagi anak itu?” Suara Ayah meninggi.
“Sabar Pak! Sabar!” bujuk Ibu.
“Dia baru saja keserempet mobil ….”
***
Onar! Ah maksudku, Aku menatap tanah merah yang masih basah dengan taburan rupa-rupa bunga. Setelah sebelumnya tubuh Onar dimasukkan kedalam liang lahat.
Air mataku nyaris habis setelah tertumpah ruah sedari tadi. Jauh di lubuk hatiku, aku tak rela melepasnya.Ayah dan Ibu serta pelayat lainnya telah bubar seperti tak ingin berlama-lama di peristirahatan Onar yang terakhir. Kalau saja aku tak membiarkan Onar pergi saat itu. Kalau saja aku tak membuat Onar terpuruk. Tragedi ini apa masih harus terjadi?
Ada semilir angin yang sekilas. Aku menoleh. Sungguh, aku melihat sosok Onar tersenyum di sampingku. Aku balas tersenyum. Lantas bahagiaku yang sesaat itu sirna setelah sosok Onar menghilang seketika.
Bandung, April 2009
Comments
0 Comments

No comments :

Post a Comment